Oleh:
Lucia Ratri Ardhanaswari
Malam ini, tepatnya hari Senin, 22 Oktober 2012,
pukul 19.00 WIB, saya mengikuti doa Rosario di lingkungan saya, tepatnya di
rumah Pak Poniman. Beliau adalah tetangga saya satu kampung tetapi berbeda RT/RW.
Setelah selesai doa Rosario, kami berbincang-bincang satu sama lain sambil
sedikit bercanda. Kami berbincang-bincang sambil menikmati camilan yang
disediakan tuan rumah, yaitu gorengan dan teh hangat. Di tengah perbincangan,
saya bertanya pada Bapak Diakon. Namanya Pak Eddy. Saya bertanya mengenai seluk
beluk kampung tempat tinggal saya ini. Oh iya, saya tinggal di kampung yang
bernama Tompean, tepatnya di kecamatan dan kelurahan Tegalrejo, Yogyakarta,
DIY. Nah, dulu teman-teman saya kalau mau main ke rumah, pasti bertanya di mana
rumah saya berada. Saya secara langsung menjawab Tompean. Lalu kebanyakan dari
mereka bertanya di mana itu Tompean. Lalu saya menjawab di daerah Tegalrejo.
Kebanyakan teman-teman saya tahunya daerah Tegalrejo, bukan Tompean. Alhasil, kalau
mau main ke rumah, teman-teman saya memilih untuk bertemu di museum Sasana
Wiratama (museum Pangeran Diponegoro) yang tempatnya di Tegalrejo. Konon
katanya di daerah sekitaran museum inilah pejuang bangsa kita, Pangeran
Diponegoro bergerilya melawan penjajah. Maka dari itu, dibuatlah museum ini
untuk menghormati jasa beliau. Nah setelah bertemu di depan museum ini, saya
langsung mengajaknya ke rumah saya. Padahal dari Tegalrejo ke Tompean itu agak
jauh tempatnya. Hal serupa ternyata juga dialami oleh semua anggota keluarga
saya dan tetangga-tetangga saya dulunya. Namun karena faktor kejauhan itu,
sekarang kalau ada orang yang mau mampir
ke rumah, biasanya diberi ancer-ancer yang letaknya dekat dengan Tompean atau
berada di Tompean, misalnya makam Utoro Loyo, BPOM Dinas Kesehatan, Koramil, WINA,
dsb.
Kebanyakan orang yang saya kenal tidak tahu Tompean
pada awalnya. Padahal sebagian dari mereka adalah orang Jogja juga. Nah karena
hal itu, saya lalu bertanya mengenai masa lalu kampung Tompean ini kepada orang
yang saya anggap lebih tahu, yaitu Pak
Eddy yang usianya berkisar 60 tahun lebih. Kami seisi ruangan spontan langsung
tertawa mendengar jawaban pak Eddy, karena beliau langsung menjawab yang menuju
ke intinya bahwa pada zaman dulu, di kampung ini (re: Tompean) terdapat
tempayan yang sangat besar. Tempayan ini adalah tempat air yang besar dibuat
dari tanah, perutnya besar, mulutnya sempit, dipakai juga untuk menyimpan
beras, membuat pekasan ikan dan sebagainya. Karena percaya bahwa tanah di sekitar
tempayan ini akan menjadi tanah yang subur dan tanah yang damai untuk
diturunkan kepada anak-cucu, orang-orang di sekitar ini akhirnya membuat
rumah-rumah. Seiring berjalannya waktu yang sekian lama, tempayan itu rusak dan
akhirnya hilang tanpa jejak dan akhirnya dinamailah kampung Tompean (sekarang
Jl. Tompean).
Kami seisi ruangan sempat percaya tentang apa yang
dikatakan Pak Eddy karena pada saat bercerita, beliau memasang muka yang sangat
serius dan beliau juga sudah lama juga tinggal di kampung ini. Namun kami juga
agak berpikir dan belum percaya pada apa yang diceritakan Pak Eddy ini karena
masih belum ada bukti kuat yang menceritakan bagaimana sejarah kampung Tompean
ini dulunya terjadi. Namun tetap sajalah, kami juga menghargai beliau yang
sudah memberikan sedikit informasi ini kepada kami. Ini hanyalah sekadar untuk
bahan pengetahuan sekaligus gojekan. Anda
sekalian boleh percaya boleh tidak. Sekian dan terima kasih.
~
~ ~ SELESAI ~ ~ ~